- Sejarah dan Awal Perkembangan Tidore,
Tidore merupakan
salah satu pulau kecil yang terdapat di gugusan kepulauan Maluku
Utara, tepatnya di sebelah barat pantai pulau Halmahera. Sebelum
Islam datang ke bumi Nusantara, pulau Tidore dikenal dengan nama;
“Limau
Duko”
atau “Kie
Duko”,
yang berarti pulau yang bergunung api. Penamaan ini sesuai dengan
kondisi topografi Tidore yang memiliki gunung api bahkan tertinggi di
gugusan kepulauan Maluku yang mereka namakan gunung “Kie
Marijang”.
Saat ini, gunung Marijang sudah tidak aktif lagi. Nama Tidore berasal
dari gabungan tiga rangkaian kata bahasa Tidore, yaitu : To
ado re,
artinya, ‘aku
telah sampai’.
Kesultanan Tidore adalah persaudaraan dengan kesultanan Ternate.
Berdasarkan silsilah Kerajaan Maluku Utara, raja Tidore yang pertama,
Sahajati adalah saudara Masyhur Malamo raja Ternate yang pertama.
Mereka adalah putra Ja’far Shadiq.
- Kesultanan di Tidore
Pada tahun 1495-1512
M, Sultan
Ciriliyati
naik tahta dan menjadi penguasa Tidore pertama yang memakai gelar
Sultan. Raja Ciriliyati adalah raja Tidore yang pertama masuk Islam
setelah mendapatkan seruan dakwah dari seorang mubaligh Arab yang
bernama Syaikh Mansur. Setalah masuk Islam, Raja Ciriliyati diberi
gelar Sultan Jamaluddin. Saat itu, pusat kerajaan berada di Gam
Tina.
Setelah Sultan Jamaluddin wafat, jabatannya sebagai Sultan Tidore
digantikan oleh putra sulungnya, yaitu Sultan Mansyur. Ketika Sultan
Mansyur
naik tahta tahun 1512 M, ia memindahkan pusat kerajaan dengan
mendirikan perkampungan baru di Rum
Tidore Utara. Posisi ibukota baru ini berdekatan dengan Ternate, dan
diapit oleh Tanjung
Mafugogo
dan pulau Maitara. Dengan keadaan laut yang indah dan tenang, lokasi
ibukota baru ini cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai.
Pada tahun 1526,
Sultan Mansur wafat, tetapi hingga awal tahun 1529 belum ditetapkan
penggantinya. Dan pada tahun 1529, putra bungsu Sultan Mansur,
Amiruddin Iskandar Zulkarnain dilantik menjadi Sultan Tidore. Pada
waktu itu, Amiruddin masih kecil maka Dewan Kesultanan Tidore
menunjuk Kaicil Rade sebagai Mangkubumi. Kaicil Rade adalah seorang
bangsawan yang amat terpelajar, seorang negosiator ulung yang fasih
bahasa Spanyol dan Portugis, dan seorang prajurit yang handal dan
pemberani. Pada tahun 1547, Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnain
tutup usia, sejak wafatnya Amiruddin hingga berkuasanya Sultan
Saifuddin, di Tidore telah berkuasa tiga orang sultan, yaitu Kie
Mansur, Iskandar Sani, dan Gapi Baguna. Dalam sejarahnya, terjadi
beberapa kali perpindahan ibukota karena sebab yang beraneka ragam.
Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh Sultan
Mole Majimo (Ala
ud-din Syah)
ke Toloa
di
selatan Tidore. Perpindahan ibukota yang terakhir adalah ke Limau
Timore
di masa Sultan
Sai uddin
(Jou
Kota).
Limau Timore ini kemudian berganti nama menjadi Soa-Sio
hingga saat ini.
Pada tahun 1657,
Saifuddin dilantik menjadi Sultan Tidore. Sultan ini berkuasa hingga
tahun 1689, ketokohan Sultan Saifuddin hampir sama dengan Sultan
Khairun di Ternate. Sultan Saifuddin adalah orang yang tenang dalam
berpikir, dan hati-hati dalam bertindak. Selama 32 tahun memerintah,
tidak terbetik berita bahwa Sultan Saifddin pernah menghunus pedang
untuk menyelsaikan masalah. Sultan Saifuddin berhasil membawa Tidore
menjadi sebuah kesultanan yang penting, dengan daerah seberang laut
yang utuh dan mendapatkan pengakuan dari kompeni Belanda, bahkan
Sultan Saifuddin tidak pernah meminta bantuan asing, bahkan selalu
menjaga jarak dengan kekuasaan kolonial Belanda.
- Aspek Kehidupan Politik di Tidore
Salah satu ide yang
kuat dan tetap di perjuangkan secara konsisiten pada masa Sultan
Saifuddin adalah membangun kembali Maluku berdasarkan pada empat
pilar kekuasaan, yaitu Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Sultan
Saifuddin selalu mengemukaan kepada gubernur Belanda di Maluku bahwa
di masa lalu ada empat kekuasaan politik yang eksis di wilayah
Maluku. Dengan berdiri tegak di atas empat pilar itu, wilayah Maluku
selalu bersatu, aman, dan makmur. Sultan Saifuddin juga selalu
mengingatkan kepada semua sultan Maluku untuk mengenang kembali masa
lalu dan kejayaan wilayah Maluku. Mungkin yang dimaksud oleh Sultan
Saifuddin adalah masa aman dan tentram yang berhasil diwujudkan oleh
Sida Arif Malamo melalui Pertemuan Moti pada tahun 1322, karena
diluar masa itu, konflik antar kesultanan di Maluku sering terjadi,
terutama antara Ternate dan Tidore.
Dengan ide tersebut,
Sultan Saifuddin meminta kepada Gubernur Belanda di Maluku untuk
menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo, karena Jailolo merupakan
salah satu pilar bagi berdirinya ” Moloku Kie Raha” yang aman,
damai, dan sejahtera. Sultan Saifuddin juga berhasil melakukan
perundingan dengan Laksamana Speelman, seorang petinggi kompeni
Belanda.
- Aspek Kehidupan Ekonomi dan Sosial
Sebagai kerajaan
yang bercorak Islam,
masyarakat Tidore dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan
hukum Islam.
Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Nuku dari Tidore dengan De
Mesquita dari
Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah dibawah kitab
suci Al-Qur’an.
Kerajaan Tidore
terkenal dengan rempah-rempahnya, seperti di daerah Maluku. Sebagai
penghasil rempah-rempah, kerajaan Tidore banyak didatangi oleh
Bangsa-bangsa Eropa. Bangsa Eropa yang datang ke Maluku, antara lain
Portugis, Spanyol, dan Belanda.
- Masa Puncak Kejayaan Kesultanan Tidore
Pada masa
pemerintahan Sultan Nuku sejak tahun 1797 hingga ia wafat pada tahun
1805, Tidore mencapai masa kejayaannya, yang mana wilayah
kekuasaannya sampai di Papua bagian Barat, Kepulauan Raja Ampat,
Seram bagian Timur, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, bahkan sampai di
Kepulauan Pasifik. Menurut catatan sejarah Tidore, bahkan Sultan Nuku
sendiri yang dating dan member nama pulau-pulau yang dikuasai, mulai
dari Mikronesia hingga Melanisia dan Kepulauan Solomon. Hingga saat
ini masih didapati pulau-pulau yang namanya memakai Sultan Nuku, di
antaranya adalah Nuku Hifa, Nuku Oro, Nuku Mabora, Nuku Nau, Nuku
Lae-lae, Nuku Feteu, dan Nuku Nono.
Sultan Nuku juga
berhasil menghidupkan kembali Kesultanan Tidore dengan kembali
menguasai seluruh wilayah Tidore seutuhnya dan juga berhasil
mnghidupkan kembali Kesultanan Jailolo yang telah mati dalam waktu
cukup lama. Dengan dihidupkan kembali Kesultanan Jailolo, berarti
Maluku kembali berdiri di atas empat pilar kekuasaan yang bersaudara
seperti pada awalnya, yaitu sama-sama berasal dari keluarga Ja’far
Shadiq dan Nur Sifa. Selanjutnya, Sultan Nuku juga berhasil
menciptakan persekutuan tiga dari empat Kesultanan Maluku, yaitu
Tidore, Bacan, dan Jailolo, kecuali Ternate. Kesusksesan Sultan Nuku
yang lainnya adalah berhasil membebaskan Kesultanan Tidore dari
pengaruh Kolonial Belanda. Selama Sultan Nuku berkuasa, Kesultanan
Tidore adalah Kesultanan yang merdeka dan berdaulat, serta terbebas
dari campur tangan penjajah Belanda.perang yang digelorakan Sultan
Nuku adalah perng terakhir di kawasa Maluku dalam menentang hegemoni
kolonial Belanda.
- Kemunduran dan Keruntuhan Kesultanan Tidore
Kemunduran
Kesultanan Tidore diawali pada masa pemerintahan Sultan Kamaluddin,
yang menggantikan Sultan Patra Alam yang terpaksa dicopot oleh
Belanda dari tahta Kesultanan karena adanya penyerbuan dari rakyat
Tidore ke istana. Pada masa itu campur tangan penjajah Belanda
terlalu jauh dalam urusan internal Kesultanan. Sultan Kamaluddin
memerintah pada tahun 1784-1797. Masa pemerintahan Sultan Kamaluddin
dianggap sebagai masa pemerintahan yang paling buruk. Sultan
Kamaluddin dikenal sebagai seorang sultan yang suka berjudi. Bahkan
ketika melarikan diri ke Ternate karena menghindari serangan Kaicil
Nuku, Sultan Kamaluddin tidak lupa kartu ceki (judi), selain mahkota
kesultanannya.
Dan keruntuhan
kesultanan Tidore jelas mulai terlihat ketika Sultan Nuku wafat pada
tahun 1805, dengan wafatnya Sultan Nuku, Maluku kehilangan seorang
sultan yang semasa hidupnya dikenal sebagai Jou
Barakati,
di kalangan orang Inggris disapa dengan Lord
of Fortune atau
Sultan Keberuntungan. Nuku adalah salah seorang sultan yang sukar
dicarikan padanannya di Asia Tenggara. Selain memiliki kecerdasan dan
charisma yang kuat, Sultan Nuku terkenal akan keberanian dan kekuatan
batinnya. Sultan Nuku berhasil mengubah Maluku yang kelam menuju
Maluku yang baru, yaitu Maluku terbebas dari segala keterikatan,
ketidakbebasan, dan penindasan dari bangsa asing. Sepeninggal Sultan
Nuku, sejarah berulang kembali. Sultan-sultan setelah Nuku sering
terlibat konflik dalam merebutkan jabatan sebagai Sultan Tidore.
Keadaan bertambah parah dengan adanya campur tangan Belanda dalam
setiap alih kepemimpinan di Kesultanan Tidore. Hal ini menyebabkan
Tidore terpuruk menjadi kesultanan yang lemah dan kembalinya hagemoni
Belanda di Kawasan Maluku.
Referensi:
Darmawijaya,
Kesultanan
Islam Nusantara, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2010.
0 komentar:
Posting Komentar