Kamis, 09 Januari 2014

Tidore

  1. Sejarah dan Awal Perkembangan Tidore,
Tidore merupakan salah satu pulau kecil yang terdapat di gugusan kepulauan Maluku Utara, tepatnya di sebelah barat pantai pulau Halmahera. Sebelum Islam datang ke bumi Nusantara, pulau Tidore dikenal dengan nama; “Limau Duko” atau “Kie Duko”, yang berarti pulau yang bergunung api. Penamaan ini sesuai dengan kondisi topografi Tidore yang memiliki gunung api bahkan tertinggi di gugusan kepulauan Maluku yang mereka namakan gunung “Kie Marijang”. Saat ini, gunung Marijang sudah tidak aktif lagi. Nama Tidore berasal dari gabungan tiga rangkaian kata bahasa Tidore, yaitu : To ado re, artinya, ‘aku telah sampai. Kesultanan Tidore adalah persaudaraan dengan kesultanan Ternate. Berdasarkan silsilah Kerajaan Maluku Utara, raja Tidore yang pertama, Sahajati adalah saudara Masyhur Malamo raja Ternate yang pertama. Mereka adalah putra Ja’far Shadiq.
  1. Kesultanan di Tidore
Pada tahun 1495-1512 M, Sultan Ciriliyati naik tahta dan menjadi penguasa Tidore pertama yang memakai gelar Sultan. Raja Ciriliyati adalah raja Tidore yang pertama masuk Islam setelah mendapatkan seruan dakwah dari seorang mubaligh Arab yang bernama Syaikh Mansur. Setalah masuk Islam, Raja Ciriliyati diberi gelar Sultan Jamaluddin. Saat itu, pusat kerajaan berada di Gam Tina. Setelah Sultan Jamaluddin wafat, jabatannya sebagai Sultan Tidore digantikan oleh putra sulungnya, yaitu Sultan Mansyur. Ketika Sultan Mansyur naik tahta tahun 1512 M, ia memindahkan pusat kerajaan dengan mendirikan perkampungan baru di Rum Tidore Utara. Posisi ibukota baru ini berdekatan dengan Ternate, dan diapit oleh Tanjung Mafugogo dan pulau Maitara. Dengan keadaan laut yang indah dan tenang, lokasi ibukota baru ini cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai.
Pada tahun 1526, Sultan Mansur wafat, tetapi hingga awal tahun 1529 belum ditetapkan penggantinya. Dan pada tahun 1529, putra bungsu Sultan Mansur, Amiruddin Iskandar Zulkarnain dilantik menjadi Sultan Tidore. Pada waktu itu, Amiruddin masih kecil maka Dewan Kesultanan Tidore menunjuk Kaicil Rade sebagai Mangkubumi. Kaicil Rade adalah seorang bangsawan yang amat terpelajar, seorang negosiator ulung yang fasih bahasa Spanyol dan Portugis, dan seorang prajurit yang handal dan pemberani. Pada tahun 1547, Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnain tutup usia, sejak wafatnya Amiruddin hingga berkuasanya Sultan Saifuddin, di Tidore telah berkuasa tiga orang sultan, yaitu Kie Mansur, Iskandar Sani, dan Gapi Baguna. Dalam sejarahnya, terjadi beberapa kali perpindahan ibukota karena sebab yang beraneka ragam. Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh Sultan Mole Majimo (Ala ud-din Syah) ke Toloa di selatan Tidore. Perpindahan ibukota yang terakhir adalah ke Limau Timore di masa Sultan Sai uddin (Jou Kota). Limau Timore ini kemudian berganti nama menjadi Soa-Sio hingga saat ini.
Pada tahun 1657, Saifuddin dilantik menjadi Sultan Tidore. Sultan ini berkuasa hingga tahun 1689, ketokohan Sultan Saifuddin hampir sama dengan Sultan Khairun di Ternate. Sultan Saifuddin adalah orang yang tenang dalam berpikir, dan hati-hati dalam bertindak. Selama 32 tahun memerintah, tidak terbetik berita bahwa Sultan Saifddin pernah menghunus pedang untuk menyelsaikan masalah. Sultan Saifuddin berhasil membawa Tidore menjadi sebuah kesultanan yang penting, dengan daerah seberang laut yang utuh dan mendapatkan pengakuan dari kompeni Belanda, bahkan Sultan Saifuddin tidak pernah meminta bantuan asing, bahkan selalu menjaga jarak dengan kekuasaan kolonial Belanda.
  1. Aspek Kehidupan Politik di Tidore
Salah satu ide yang kuat dan tetap di perjuangkan secara konsisiten pada masa Sultan Saifuddin adalah membangun kembali Maluku berdasarkan pada empat pilar kekuasaan, yaitu Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Sultan Saifuddin selalu mengemukaan kepada gubernur Belanda di Maluku bahwa di masa lalu ada empat kekuasaan politik yang eksis di wilayah Maluku. Dengan berdiri tegak di atas empat pilar itu, wilayah Maluku selalu bersatu, aman, dan makmur. Sultan Saifuddin juga selalu mengingatkan kepada semua sultan Maluku untuk mengenang kembali masa lalu dan kejayaan wilayah Maluku. Mungkin yang dimaksud oleh Sultan Saifuddin adalah masa aman dan tentram yang berhasil diwujudkan oleh Sida Arif Malamo melalui Pertemuan Moti pada tahun 1322, karena diluar masa itu, konflik antar kesultanan di Maluku sering terjadi, terutama antara Ternate dan Tidore.
Dengan ide tersebut, Sultan Saifuddin meminta kepada Gubernur Belanda di Maluku untuk menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo, karena Jailolo merupakan salah satu pilar bagi berdirinya ” Moloku Kie Raha” yang aman, damai, dan sejahtera. Sultan Saifuddin juga berhasil melakukan perundingan dengan Laksamana Speelman, seorang petinggi kompeni Belanda.

  1. Aspek Kehidupan Ekonomi dan Sosial

Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat Tidore dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam. Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Nuku dari Tidore dengan De Mesquita dari Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah dibawah kitab suci Al-Qur’an.
Kerajaan Tidore terkenal dengan rempah-rempahnya, seperti di daerah Maluku. Sebagai penghasil rempah-rempah, kerajaan Tidore banyak didatangi oleh Bangsa-bangsa Eropa. Bangsa Eropa yang datang ke Maluku, antara lain Portugis, Spanyol, dan Belanda.
  1. Masa Puncak Kejayaan Kesultanan Tidore
Pada masa pemerintahan Sultan Nuku sejak tahun 1797 hingga ia wafat pada tahun 1805, Tidore mencapai masa kejayaannya, yang mana wilayah kekuasaannya sampai di Papua bagian Barat, Kepulauan Raja Ampat, Seram bagian Timur, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, bahkan sampai di Kepulauan Pasifik. Menurut catatan sejarah Tidore, bahkan Sultan Nuku sendiri yang dating dan member nama pulau-pulau yang dikuasai, mulai dari Mikronesia hingga Melanisia dan Kepulauan Solomon. Hingga saat ini masih didapati pulau-pulau yang namanya memakai Sultan Nuku, di antaranya adalah Nuku Hifa, Nuku Oro, Nuku Mabora, Nuku Nau, Nuku Lae-lae, Nuku Feteu, dan Nuku Nono.
Sultan Nuku juga berhasil menghidupkan kembali Kesultanan Tidore dengan kembali menguasai seluruh wilayah Tidore seutuhnya dan juga berhasil mnghidupkan kembali Kesultanan Jailolo yang telah mati dalam waktu cukup lama. Dengan dihidupkan kembali Kesultanan Jailolo, berarti Maluku kembali berdiri di atas empat pilar kekuasaan yang bersaudara seperti pada awalnya, yaitu sama-sama berasal dari keluarga Ja’far Shadiq dan Nur Sifa. Selanjutnya, Sultan Nuku juga berhasil menciptakan persekutuan tiga dari empat Kesultanan Maluku, yaitu Tidore, Bacan, dan Jailolo, kecuali Ternate. Kesusksesan Sultan Nuku yang lainnya adalah berhasil membebaskan Kesultanan Tidore dari pengaruh Kolonial Belanda. Selama Sultan Nuku berkuasa, Kesultanan Tidore adalah Kesultanan yang merdeka dan berdaulat, serta terbebas dari campur tangan penjajah Belanda.perang yang digelorakan Sultan Nuku adalah perng terakhir di kawasa Maluku dalam menentang hegemoni kolonial Belanda.
  1. Kemunduran dan Keruntuhan Kesultanan Tidore
Kemunduran Kesultanan Tidore diawali pada masa pemerintahan Sultan Kamaluddin, yang menggantikan Sultan Patra Alam yang terpaksa dicopot oleh Belanda dari tahta Kesultanan karena adanya penyerbuan dari rakyat Tidore ke istana. Pada masa itu campur tangan penjajah Belanda terlalu jauh dalam urusan internal Kesultanan. Sultan Kamaluddin memerintah pada tahun 1784-1797. Masa pemerintahan Sultan Kamaluddin dianggap sebagai masa pemerintahan yang paling buruk. Sultan Kamaluddin dikenal sebagai seorang sultan yang suka berjudi. Bahkan ketika melarikan diri ke Ternate karena menghindari serangan Kaicil Nuku, Sultan Kamaluddin tidak lupa kartu ceki (judi), selain mahkota kesultanannya.
Dan keruntuhan kesultanan Tidore jelas mulai terlihat ketika Sultan Nuku wafat pada tahun 1805, dengan wafatnya Sultan Nuku, Maluku kehilangan seorang sultan yang semasa hidupnya dikenal sebagai Jou Barakati, di kalangan orang Inggris disapa dengan Lord of Fortune atau Sultan Keberuntungan. Nuku adalah salah seorang sultan yang sukar dicarikan padanannya di Asia Tenggara. Selain memiliki kecerdasan dan charisma yang kuat, Sultan Nuku terkenal akan keberanian dan kekuatan batinnya. Sultan Nuku berhasil mengubah Maluku yang kelam menuju Maluku yang baru, yaitu Maluku terbebas dari segala keterikatan, ketidakbebasan, dan penindasan dari bangsa asing. Sepeninggal Sultan Nuku, sejarah berulang kembali. Sultan-sultan setelah Nuku sering terlibat konflik dalam merebutkan jabatan sebagai Sultan Tidore. Keadaan bertambah parah dengan adanya campur tangan Belanda dalam setiap alih kepemimpinan di Kesultanan Tidore. Hal ini menyebabkan Tidore terpuruk menjadi kesultanan yang lemah dan kembalinya hagemoni Belanda di Kawasan Maluku.

Referensi:
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010.


0 komentar:

Posting Komentar