Politik ekonomi kaum
liberal adalah kebalikan dari politik yang dijalankan oleh Willem I.
Prinsip yang diantut sekarang adalah prinsip “tidak campur tangan”;
berhubung dengan itu kerajaan harus menarik diri dari segala campur
tangan; segala rintangan terhadap inisiatif individu dan kebebasan
harus dihapuskan, dan segala bantuan pemerintahan kepada usaha swasta
harus dihentikan. Semuanya ini berarti runtuhnya politik
merkantilisme dan proteksionisme. Konsekuensinya, banyak
undang-undang yang melindungi hak-hak istimewa perusahaan-perusahaan
nasional dihapus. Tindakan-tindakan ini sebagian disebabkan karena
kepatuhan ideologis golongan liberal dan sebagian juga karena
tekanan-tekanan politik dari pihak Inggris. Kecenderungan umum di
Eropa yang menuju ke perdagangan bebas menyebabkan Belanda menghapus
peraturan-peraturan proteksi.
Gejala yang
menyertai industrialisasi dan perdagangan bebas adalah berkembanganya
dan bergeraknya modal. Perkembangan bank-bank yang cepat antara
tahun-tahun 1850 dan 1870 menunjukkan adanya konsentrasi dan
sentralisasi modal.
Sistem ekonomi
liberal mempermudah bank ekspor maupun impor modal. Penanaman modal
di Indonesia terutama terjadi pada industri gula, timah, dan tembakau
yang mulai berkembang sejak tahun 1885. Dengan dihapuskannya
Culturrstelsel secara berangsur-angsur, maka tanaman wajib
pemerintahan diganti dengan perkebunan-perkebunan yang diusahakan
oleh pengusaha-pengusaha swasta. Kalau disatu pihak modal Belanda
diekspor maka dilain pihak modal asing, khususnya Jerman, ditanam
beberapa cabang industri di Negeri Belanda. Singkatnya, liberalisasi
politik perdagangan Belanda berarti pembukaan Negeri Belanda bagi
perdagangan internasional. Sebagai negara kecil di antara
negara-negara besar dengan industri-industrinya yang sudah maju, maka
sudah selayaknya kalu Negeri Belanda mengarahkan dirinya ke
konstelasi ekonomi umum. Arah liberal ini berakhir pada tahun 1880,
ketika bangsa-bangsa yang besar kembali lagi ke proteksionisme.
Banyak di antara
anggota-anggotanya memperluas pengetahuan mereka tentang tanah
jajahan, maka sudah selayaknya kalau mereka menjadi lebih sensitif
akan kekurangan-kekurangan mereka. Akibat-akibat dari perubahan opini
tentang politik kolonial ini berproses sangat percepat. Dalam periode
ini gerakan yang ditujukan terhadap reform menjadi makin kuat.
Sesungguhnya politik kolonial golongan liberal harus sesuai dengan
politik liberal negeri induk. Jadi mereka menetang proteksi dan
eksploatasi pemerintahan di tanah jajahan; mereka menuntut
liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda, sebab itulah maka sistem
seperti hak-hak dan tarif-tarif yang berbeda-beda dan konsignasi
(consignation) harus dihapuskan. Sebagai ganti eksploatasi pemerintah
akan dijalankan kekebasan berusaha; dan kerja wajib akan diganti
dengan kerja bebas. Akan tetapi sekali lagi perlu diingat, bahwa baik
Partai Liberal maupun Partai Konservatif menerima prinsip bahwa tanah
jajahan harus membantu kesejahteraan materiel negeri induk. Dalam
hubungan ini perlu diselidiki apakah ada hubungan kausal antara
kepentingan ekonomi dan politik liberal, ataukah hal itu memang
merupakan suatu persoalan prinsip dan yang menjadi tujuan mulai dari
perjuangan golongan liberal.
Pedebatan-perdebatan
di parlemen sampai abad ke-19. Dipusatkan pada pro dan kontra sistem
kebebasan bekarja, dan kebebasan berkebun, semuanya sebagai pengganti
Cultuurstelsel. Realisasi dari ide liberal di dalam politik kolonial
terjadi kira-kira pada tahun 1870, yakni saat Partai liberal mencapai
puncaknya sekaligus sebagai permulaan kemunduranya.
Referensi:
Kartodirdjo,
Satono. 1999. Sejarah
Pergerakan Nasional. Jakarta
: Gramedia Pustaka Utama.
0 komentar:
Posting Komentar