Kamis, 09 Januari 2014

Politik Etis

Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa.
Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi:
  1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
  2. Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi
  3. Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan
Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulsian Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.
Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia.
Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) yang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.
Sementara itu, dalam masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara orang-orang Belanda dan orang-orang pribumi. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap pribumi yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya.
Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan penyimpangan tersebut :
  • Irigasi
    Pengairan hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.
  • Edukasi
    Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.
  • Migrasi
    Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatra Utara, khususnya di DeliSuriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.
Dari ketiga penyimpangan ini, terjadi karena lebih banyak untuk kepentingan pemerintahan Belanda.
Kebijakan Politik Etis Hindia Belanda (Edukasi, Irigasi, Emigrasi) yang digulirkan pada penghujung abad XIX, berefek dahsyat terhadap pergerakan di Nusantara. Sekian organisasi bermunculan. Mulai organisasi ronda, keagamaan, dagang, pendidikan, hingga organisasi politik. Pendeknya, rakyat sedang demam organisasi. Rakyat mulai bergerak dengan cara baru, meninggalkan cara lama (perang kolosal) yang hampir selalu gagal. Inilah yang disebut Takashi Siraishi sebagai Zaman Bergerak!
Lalu, ada apa dibalik Politik Etis? Untuk apa digulirkan? Pihak mana yang mengusulkannya? Dalam konteks apa ia lahir?
Revolusi Industri di Inggris (tahun?) adalah tonggak kelahiran kapitalisme, dan kematian merchantilisme Eropa. Ia adalah fase baru dalam sejarah dimana kekuasaan raja mulai dipereteli oleh kaum pemilik modal. Memang, tiap modal membawa daya kuasa; daya kuasa mencipta kekuasaan; dan kekuasaan menentukan hukumnya sendiri. Kaum pemodal rame-rame masuk di pusat kekuasaan dan menentukan kebijakan yang—tentunya—menguntungkan dirinya. Dan di parlemen Belanda, kaum pemodal-swasta (dalam partai liberal) berhasil mendominasi mengalahkan golongan konservatif dan sosialis. Kebijakan mereka juga diturunkan di Hindia Belanda pada 1870 tentang Undang-Undang Agraria (UUA) dan disusul Politiki Etis pada 1899.
UUA, menandai era Hindia Belanda dimana kalangan swasta rame-rame turut merasakan nikmatnya penjajahan. Tanah Hindia-Belanda mulai dibolehkan (baca: dipaksa) untuk disewa pihak swasta. Perusahaan-perusahaan (yang memanfaatkan tanah sewa) mulai dibangun. Perkebunan-perkebunan swasta mulai marak—ini menandai akhirnya sistem kerja paksa. Pekerja-pekerja terampil dibutuhkan. Sementara rakyat masih papa dan bodoh. Dan orang bodoh kurang potensial untuk dijadikan tenaga kerja. Sementara pemodal menginginkan laba sebesar-besarnya. Maka, menyekolahkan pribumi adalah keharusan!
Memang, UUA, selain anugerah, juga kutukan. Lewat UUA kerja paksa dihapus. Lewat ia pula rakyat diploretariasi. Tanah-tanah mereka yang bisa ditanami untuk kebutuhan pangan (semisal padi), kini sebagian besar disewa-paksa dengan harga rendah, dan dijadikan lahan perkebunan komoditas ekspor, semisal tebu. Maka, mereka terpaksa menjadi buruh dengan gaji murah, sementara di beberapa tempat, bahan pangan mulai langka seiring menyempitnya persawahan. Kelaparan pun merebak!
Politik Etis, yang diandaikan sebagai Balas Budi, paling tidak ada dua faktor yang mempengaruhinya. Kalangan Etis (Humanis), semisal Edward Douwes Dekker, melihat penderitaan pribumi, mengkritik pedas pemerintah kolonial. Dan mengusulkan agar pemerintah lebih manusiawi dalam kebijakan-kebijakannya. Sementara kaum pemodal swasta dalam pemerintahan, menginginkan stabilitas dan kelancaran untuk memperoleh laba sebanyak-banyaknya. Dan ini mengharuskan regulasi baru: Politik Etis. Edukasi untuk tenaga kerja murah, terampil, dan bisa baca-tulis-hitung. Irigasi untuk pengairan perkebunan swasta kaum pemodal. Emigrasi juga untuk tenaga kerja perusahaan-perkebunan di daerah berpenduduk jarang. Lengkap sudah.
Pendidikan ternyata menimbulkan kesadaran baru bagi pribumi atas derita penjajahan yang dialami. Gagasan-gagasan Eropa tentang revolusi, demokrasi, dll., mulai merasuki fikiran para pelajar, sementara mereka melihat penindasan-penjajahan dalam realita kehidupan sehari-hari—sangat kontras. Maka, dalam hati beberapa pelajar, ini tak bisa dibiarkan. Pribumi harus sejahtera. Dan untuk itu, pertama-tama mereka harus sadar bahwa mereka terjajah. Harus sadar bahwa untuk melawan penjajahan tak bisa lagi dengan perang kolosal yang sangat primordial—selain kemungkinannya sangat kecil. Perjuangan itu harus dilakukan dengan cara baru. Organisasi modern dibutuhkan.
Adalah Sjarikat Prijaji (1906), organisasi pribumi yang pertama kali dirintis Raden Mas Tirto Adhi Soerjo (RM TAS, Tirto)Tujuannya mempersatukan para priyayi.Sebab, kaum priyayi lah yang mula-mula menikmati pendidikanMeskipun elitis dan akhirnya ambruk sebab pertentangan internal, organisasi ini berhasil membawa sepercik penyadaran pada kaum pribumi lewat media massa yang dikelolanya: Medan Prijaji.
Berlanjut Boedi Oetomo (BO), oleh dr. Soetomo, dr. Wahidin Soediro Hoesodo, dkk., pada 1908. BO mencoba mewujudkan Hindia Mulia. Ia bergerak pada bidang pendidikan dan kesehatan, sebab dua hal itulah yang sangat dibutuhkan. Tapi, dalam perjalanannya, selain Javasentris, elitis, juga sangat koordinatif terhadap kolonial. Sehingga, selain mudah disetir oleh kolonial, juga agenda-agendanya kurang begitu dirasakan oleh kalangan masyarakat bawah.
Pada penghujung 1911, di Solo, dibentuk Sjarikat (Dagang) Islam disingkat SDI/SI. Awalnya, SI di Solo adalah organisasi ronda yang bernama Rekso Roemekso (RR) binaan H. Samanhoedi dengan tujuan mengamankan (pedagang) batik pribumi. Suatu hari, RR cekcok dengan organisasi ronda milik Tionghoa. Polisi Hindia Belanda menginvestigasi keduanya. Tapi, Belanda memang mengakui organisasi yang legal. Maka, Samanhoedi mengelak buat sementara dan konsultasi dengan Tirto yang saat itu tinggal di Bogor sebagai pembina Medan Prijaji. Tirto mengusulkan agar RR diubah namanya jadi Sjarikat Dagang Islam yang merupakan cabang dari Sjarikat Dagang Islamijah (SDI) binaan Tirto di Bogor yang sudah legal dan punya AD/ART. Lalu, pada 1912 Sjarikat Islam (SI) resmi berdiri di Solo.
SI adalah organisasi pribumi yang sangat fenomenal pada zamannya. Ia berhasil merebut ratusan ribu hati pribumi untuk mengikuti organisasi ini di berbagai daerah. Memang, tekanan Belanda sangat kuat, tapi SI masih bisa bertahan dengan sekian dinamikanya. Disini lahir banyak tokoh semisal HOS Tjokroaminoto dan Goenawan. Dalam perjalanannya, SI pecah jadi dua. SI Putih yang lalu jadi PSI dipimpin HOS Tjokroaminoto, tapi SI ini kehilangan massa. Kedua SI Merah/Sjarekat Ra’jat yang berpusat di SI cabang Semarang pimpinan Semaoen. SI Merah inilah yang kemudian jadi PKI.
Tahun 1926, menandai tiarapnya pergerakan setelah gagalnya pemberontakan PKI Prambanan. Pemerintah Hindia-Belanda menangkapi semua yang turut berpergerakan dan men-Digoel-kan ribuan para aktivis. Namun, Oktober 1928, para pemuda seluruh Nusantara masing bisa sedikit menunjukkan kekuatannya dalam Kongres Pemoeda yang melahirkan Soempah Pemoeda yang populer itu.

Referensi:
Baundet, H.dkk. 1987. Politikn Etis dan Revolusi Kemerdekaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Kartodirdto, Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

0 komentar:

Posting Komentar