Sebagai
daerah yang strategis menjadi pangkal rute perdagangan
rempah-rempah, dan memiliki monopoli alamiah penghasil rempah-rempah,
maka seperti pada bangsa Portugis, VOC segera beerusaha meletakan
basisnya di wilayah itu dengan mengadakan kontrak dengan penguasa
setempat, mendirikan factory dan loji atau benteng. Dalam kontrak
tersebut VOC berhasil memperoleh monopoli dalam perdagangan cengkeh.
- Masa Perpindahan Kekuasaan Dari Inggris ke Belanda
Perpindahan
kekuasaan akan kekuasaan Maluku oleh Inggris dan Belanda terjadi
berulang ulang. Pada 21 juni 1801, Gubernur Cransen menyerahkan
Maluku kepada Inggris. Penyerahan ini dilakukan di Ternate.
Selanjutnya Inggris menempatkan residen pertamanya, H. Webber,di
Ternate. Tetapi Inggris tidak lama bercokol di Ternate. Pada 1803,
Inggris menyerahkan kembali Ternate kepada Belanda.
Beberapa
waktu kemudian, tepatnya pada 1810, Belanda kembali kembali
menyerahkan Maluku kepada Inggris di bawah Kapten Tucker. Antara
1813-1816, Inggris menempatkan beberapa residen di Ternate, yaitu
W.G. McKenzie, W.B. Martin, R, Stuart, dan setelah itu mengangkat
W.G. McKenzie untuk jabatan yang sama. Kembalinya McKenzie untuk
menjabat Residen Maluku di Ternate menandai berakhirnya masa
pemerintahan Inggris yang relatif singkat di Maluku dan
pengambilalihan lagi ke Belanda. ( M. Adnan Amal, 2010: 154-155 ).
- Masa Pergolakan dan Perlawanan Terhadap Kolonial
- Perang Nuku ( 1780-1805 )
Asal
mula pergolakan yang meliputi seluruh daerah Maluku dan melibatkan
sebagian dari Irian berkisar sekitar pergantian di kerajaan Tidore.
Skala konflik bersenjata sedemikian besarnya dan berlangsung kurang
lebih seperempat abad membenarkan penyebutan pergolakan itu sebagai
perang. Tokoh yang memegang peranan utama ialah Nuku yang bersama
saudaranya, Kamaludin, dikemudiankan daripada Pata Alam. Sepeninggal
Sultan Gaizira pada bulan April 1780 tibul gagasan pada Kumpeni
untuk memasukan Tidore kedalam wilayahnya yang diperintah secara
langsung akan tetapi akhirnya diangkatnya Pata Alam sebagai sultan.
Sesungguhnya diantara para calon, Nuku dan Kamaludin adalah yang
paling terkemuka. Dalam bylan Juli 1780 timbulah pergolakan sebagai
protes yang mereka lancarkan, dimana-mana terjadi perampasan dan
pembakaran. Pangeran Kamaludin ditangkap, tetapi P. Nuku melarikan
diri.
Kedudukan
Nuku dengan pengangkatannya oleh bangsa Papua sebagai Sultan Muhammad
Safiuddin Syah. Dari basis yang kuat itu Nuku melakukan serangan
terhadap Seram yang hendak direbutnya dari kekuasaan Sultan Ternate.
Perjuangan Nuku mengalami pasang surut, dia terpaksa berpindah-pindah
kedudukan, suatu strategi gerilya yang cukup menyulitkan lawannya.
Kekuasaan di berbagai pulau silih-berganti. Yang jelas ialah bahwa
ekspedisi VOC bersama dengan Ternate dan Tidore tidak menundukan
Nuku. Perang Nuku sebagai gerakan yang berskala besar serta
berlingkupluas dapat dipandang sebagai gerakan melawan penjajahan
pada umumnya, dan kolonialisme Belanda pada khususnya. Meskipun dalam
gerakannya melawan VOC Nuku mendapat bantuan Inggris, ternyata hal
ini merupakan strategi saja dan bukan maksudnya menerima
suzereinitasnya yang menjadi tujuan sebenarnya ialah hendak
menghidupkan kembali emapat kerajaan Maluku kuno yanmg merdeka. (
Sartono Kartodirdjo, 1988: 267-271 ).
- Pemberontakan Saparua
Pergolakan
di Saparua selama bagian kedua tahun 1817 ( Juli -Desember )
dibangkitkan oleh restorasi pemerintahan kolonial Belanda dengan
penyerahan kembali daerah Maluku dari tangan Inggris. Perubahan
penguasa dengan sendirinya membawa perubahan kebijaksanaan dan
peraturan. Apabila perubahan itu menimbulkan banyak kerugian atau
penghargan yang kurang, sudah barang tentu akan menimbulkam rasa tak
puas dan kegelisahan.
Proses
rakyat di bawah pimpinan Thomas Matulesia (Pattimura) diawali dengan
penyerahan daftar penyerahan keluhan-keluhan kepada Belanda. Daftar
itu ditandatangani oleh 21 penguasa orang kaya, patih, raja dari
Saparua dan Nusa laut. Beberapa pemimpin lain dalam pembrontakan
ialah Anthony Rhebok, Philip Latumahina, dan raja dari Siri Sori
Sayat. Pada tanggal 3 Mei 1817 kira-kira seratus orang, di antara
Thomas Matulesia berkumpul di hutan Warlutun dan memutuskan untuk
menghancurkan benteng di Saparua dan membunuh semua penghuninya. Pada
tanggal 9 Mei berkerumunanlah lagi sejumlah orang yang sama di tempat
tersebut. Dipilihnya Thomas Matulesia sebagai kapten serta dibulatkan
tekad untuk menyerang benteng dan membunuh Fetor (residen) raja dari
Siri Sori dan patih dari Haria. Kemudian bubarlah mereka, dan
menyebarlah rencana itu keseluruh Haria desa-desa di Saparua. Lima
hari kemudian (tanggal 14 Mei 1817 ) seluruh penduduk mengucapakan
sumpah mereka dan berkobarlah pembrontkan. Rakyat menyerbu Porto dan
menyerang
Orembaai
yang akan dibawa ke Ambon.
Ada
pula sebab lain yang diduga menjadi factor pencetus pergolakan
tersebut di atas. Peristiwa yang menyangkut Anthony Rhebok, Philip
Latumahina, Daniel Sorbach, yaitu percekcokan yang terjadi setelah
mereka minum-minum sehingga kedua orang tersebut terdahulu, dekenakan
hukumun pukulan rotan, membangkitkan rasa dendam terhadap residen.
Mereka bertekad melawan Residen Van Den Berg.
Pada
tagal 15 Mei 1817 malam, benteng dikepung oleh massa yang sudah siap
melakukan penyerbuan. Di benteng sendiri hanya ada belasan orang
tentara Kumpeni, sebagian besar serdadu Jawa. Pada tanggal 16 Mei
pagi-pagi residen telah memerintahkan untuk mengerek bendera putih.
Dalam penyerbuan, residen serta keluarganya mati terbunuh, kecuali
seorang anak laki-laki yang akhirnya mendapat perlindungan Patiwael.
Hanya beberapa orang tentara dapat meloloskan diri.
Meskipun
benteng dapat direbut kembali pada tanggal 3 Agustus 1817, pergolakan
bekobar terus dan para pemimpin bersembunyi di hutan-hutan. Rakyat
Nusa Laut meletakan senjata pada tanggal 10 November, dua hari
kemudian ( 12 November ) Matulesia tertangkap oleh Liman Pietersen.
Sebagai akhir masa pemberontakan pada tanggal 16 November 1817,
diadakan upacara agama. Dua hari kemudian para pemimpin pemberontakan
diberangkatkan ke Ambon untuk diadili. Matulesia dan tokoh-tokoh
terkemuka dijatuhi hukuman mati sedang lainnya dibuang antara lain ke
Jawa. ( Sartono Kartodirdjo, 1988: 375-377 ).
Amal,
M. Adhan. 2010. Kepulauan
Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara.
Jakarta: Gramedia.
Kartodirdjo,
Sartono. 1988. Pengantar
Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Jakarta:
Gramedia.
0 komentar:
Posting Komentar