Kamis, 09 Januari 2014

Perang di Maluku

Sebagai daerah yang strategis menjadi pangkal rute perdagangan rempah-rempah, dan memiliki monopoli alamiah penghasil rempah-rempah, maka seperti pada bangsa Portugis, VOC segera beerusaha meletakan basisnya di wilayah itu dengan mengadakan kontrak dengan penguasa setempat, mendirikan factory dan loji atau benteng. Dalam kontrak tersebut VOC berhasil memperoleh monopoli dalam perdagangan cengkeh.
  1. Masa Perpindahan Kekuasaan Dari Inggris ke Belanda
Perpindahan kekuasaan akan kekuasaan Maluku oleh Inggris dan Belanda terjadi berulang ulang. Pada 21 juni 1801, Gubernur Cransen menyerahkan Maluku kepada Inggris. Penyerahan ini dilakukan di Ternate. Selanjutnya Inggris menempatkan residen pertamanya, H. Webber,di Ternate. Tetapi Inggris tidak lama bercokol di Ternate. Pada 1803, Inggris menyerahkan kembali Ternate kepada Belanda.
Beberapa waktu kemudian, tepatnya pada 1810, Belanda kembali kembali menyerahkan Maluku kepada Inggris di bawah Kapten Tucker. Antara 1813-1816, Inggris menempatkan beberapa residen di Ternate, yaitu W.G. McKenzie, W.B. Martin, R, Stuart, dan setelah itu mengangkat W.G. McKenzie untuk jabatan yang sama. Kembalinya McKenzie untuk menjabat Residen Maluku di Ternate menandai berakhirnya masa pemerintahan Inggris yang relatif singkat di Maluku dan pengambilalihan lagi ke Belanda. ( M. Adnan Amal, 2010: 154-155 ).
  1. Masa Pergolakan dan Perlawanan Terhadap Kolonial
  1. Perang Nuku ( 1780-1805 )
Asal mula pergolakan yang meliputi seluruh daerah Maluku dan melibatkan sebagian dari Irian berkisar sekitar pergantian di kerajaan Tidore. Skala konflik bersenjata sedemikian besarnya dan berlangsung kurang lebih seperempat abad membenarkan penyebutan pergolakan itu sebagai perang. Tokoh yang memegang peranan utama ialah Nuku yang bersama saudaranya, Kamaludin, dikemudiankan daripada Pata Alam. Sepeninggal Sultan Gaizira pada bulan April 1780 tibul gagasan pada Kumpeni untuk memasukan Tidore kedalam wilayahnya yang diperintah secara langsung akan tetapi akhirnya diangkatnya Pata Alam sebagai sultan. Sesungguhnya diantara para calon, Nuku dan Kamaludin adalah yang paling terkemuka. Dalam bylan Juli 1780 timbulah pergolakan sebagai protes yang mereka lancarkan, dimana-mana terjadi perampasan dan pembakaran. Pangeran Kamaludin ditangkap, tetapi P. Nuku melarikan diri.
Kedudukan Nuku dengan pengangkatannya oleh bangsa Papua sebagai Sultan Muhammad Safiuddin Syah. Dari basis yang kuat itu Nuku melakukan serangan terhadap Seram yang hendak direbutnya dari kekuasaan Sultan Ternate. Perjuangan Nuku mengalami pasang surut, dia terpaksa berpindah-pindah kedudukan, suatu strategi gerilya yang cukup menyulitkan lawannya. Kekuasaan di berbagai pulau silih-berganti. Yang jelas ialah bahwa ekspedisi VOC bersama dengan Ternate dan Tidore tidak menundukan Nuku. Perang Nuku sebagai gerakan yang berskala besar serta berlingkupluas dapat dipandang sebagai gerakan melawan penjajahan pada umumnya, dan kolonialisme Belanda pada khususnya. Meskipun dalam gerakannya melawan VOC Nuku mendapat bantuan Inggris, ternyata hal ini merupakan strategi saja dan bukan maksudnya menerima suzereinitasnya yang menjadi tujuan sebenarnya ialah hendak menghidupkan kembali emapat kerajaan Maluku kuno yanmg merdeka. ( Sartono Kartodirdjo, 1988: 267-271 ).
  1. Pemberontakan Saparua
Pergolakan di Saparua selama bagian kedua tahun 1817 ( Juli -Desember ) dibangkitkan oleh restorasi pemerintahan kolonial Belanda dengan penyerahan kembali daerah Maluku dari tangan Inggris. Perubahan penguasa dengan sendirinya membawa perubahan kebijaksanaan dan peraturan. Apabila perubahan itu menimbulkan banyak kerugian atau penghargan yang kurang, sudah barang tentu akan menimbulkam rasa tak puas dan kegelisahan.
Proses rakyat di bawah pimpinan Thomas Matulesia (Pattimura) diawali dengan penyerahan daftar penyerahan keluhan-keluhan kepada Belanda. Daftar itu ditandatangani oleh 21 penguasa orang kaya, patih, raja dari Saparua dan Nusa laut. Beberapa pemimpin lain dalam pembrontakan ialah Anthony Rhebok, Philip Latumahina, dan raja dari Siri Sori Sayat. Pada tanggal 3 Mei 1817 kira-kira seratus orang, di antara Thomas Matulesia berkumpul di hutan Warlutun dan memutuskan untuk menghancurkan benteng di Saparua dan membunuh semua penghuninya. Pada tanggal 9 Mei berkerumunanlah lagi sejumlah orang yang sama di tempat tersebut. Dipilihnya Thomas Matulesia sebagai kapten serta dibulatkan tekad untuk menyerang benteng dan membunuh Fetor (residen) raja dari Siri Sori dan patih dari Haria. Kemudian bubarlah mereka, dan menyebarlah rencana itu keseluruh Haria desa-desa di Saparua. Lima hari kemudian (tanggal 14 Mei 1817 ) seluruh penduduk mengucapakan sumpah mereka dan berkobarlah pembrontkan. Rakyat menyerbu Porto dan menyerang Orembaai yang akan dibawa ke Ambon.
Ada pula sebab lain yang diduga menjadi factor pencetus pergolakan tersebut di atas. Peristiwa yang menyangkut Anthony Rhebok, Philip Latumahina, Daniel Sorbach, yaitu percekcokan yang terjadi setelah mereka minum-minum sehingga kedua orang tersebut terdahulu, dekenakan hukumun pukulan rotan, membangkitkan rasa dendam terhadap residen. Mereka bertekad melawan Residen Van Den Berg.
Pada tagal 15 Mei 1817 malam, benteng dikepung oleh massa yang sudah siap melakukan penyerbuan. Di benteng sendiri hanya ada belasan orang tentara Kumpeni, sebagian besar serdadu Jawa. Pada tanggal 16 Mei pagi-pagi residen telah memerintahkan untuk mengerek bendera putih. Dalam penyerbuan, residen serta keluarganya mati terbunuh, kecuali seorang anak laki-laki yang akhirnya mendapat perlindungan Patiwael. Hanya beberapa orang tentara dapat meloloskan diri.
Meskipun benteng dapat direbut kembali pada tanggal 3 Agustus 1817, pergolakan bekobar terus dan para pemimpin bersembunyi di hutan-hutan. Rakyat Nusa Laut meletakan senjata pada tanggal 10 November, dua hari kemudian ( 12 November ) Matulesia tertangkap oleh Liman Pietersen. Sebagai akhir masa pemberontakan pada tanggal 16 November 1817, diadakan upacara agama. Dua hari kemudian para pemimpin pemberontakan diberangkatkan ke Ambon untuk diadili. Matulesia dan tokoh-tokoh terkemuka dijatuhi hukuman mati sedang lainnya dibuang antara lain ke Jawa. ( Sartono Kartodirdjo, 1988: 375-377 ).


Referensi:

Amal, M. Adhan. 2010. Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara. Jakarta: Gramedia.
Kartodirdjo, Sartono. 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Jakarta: Gramedia.

0 komentar:

Posting Komentar