Tokoh ini merupakan presiden wanita Indonesia pertama dan anak dari
presiden Indonesia pertama, Soekarno,
yang kemudian mengikuti jejak ayahnya menjadi Presiden Indonesia. Ia
menjadi presiden setelah MPR mengadakan Sidang Istimewa MPR pada
tahun 2001. Sidang Istimewa MPR ini diadakan dalam menanggapi langkah
Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang membekukan lembaga MPR/DPR dan
Partai Golkar. Ia dilantik pada 23 Juli 2001. Sebelumnya dari tahun
1999–2001, ia menjabat Wakil Presiden pada pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Berikut sekilas mengenai biografi
Megawati Soekarnoputri.
Nama lengkapnya Dyah
Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri atau umumnya lebih
dikenal sebagai Megawati Soekarnoputri atau biasa disapa dengan
panggilan "Mbak Mega" lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947
adalah Presiden Indonesia yang kelima yang menjabat sejak 23 Juli
2001-20 Oktober 2004. Megawati Soekarnoputri adalah anak kedua
Presiden
Soekarno yang telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
pada 17 Agustus 1945. Ibunda Megawati, Fatmawati,
adalah seorang gadis kelahiran Bengkulu dimana Soekarno
dahulu pernah diasingkan pada masa penjajahan Belanda. Ia dilahirkan
pada masa Agresi Militer Belanda. Pada waktu Soekarno
diasingkan ke pulau Bangka, Fatmawati
melahirkan seorang bayi yang dinamai Megawati Soekarno Putri,
pada tanggal 23 Januari 1947 di kampung Ledok Ratmakan, tepi barat
Kali Code. Setelah kemerdekaan Indonesia, Megawati lalu dibesarkan
dalam suasana kemewahan di Istana Merdeka. Dia pernah menuntut ilmu
di Universitas Padjadjaran di Bandung (tidak sampai lulus) dalam
bidang pertanian, selain juga pernah mengenyam pendidikan di Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia (juga tidak sampai lulus).
Suami pertama Mega adalah
seorang pilot AURI bernama Surindro Supjarso yang meninggal karena
kecelakaan pesawat. Surindro meninggalkan dua orang anak yang masih
kecil. Lalu Mega menikah dengan seorang pria asal Mesir yang rupanya
tidak bertahan lama. Barulah Mega kemudian menikah dengan Taufiq
Kiemas yang bertahan hingga sekarang.
Kendati lahir dari
keluarga politisi jempolan, Mbak Mega -- panggilan akrab para
pendukungnya -- tidak terbilang piawai dalam dunia politik. Bahkan,
Megawati sempat dipandang sebelah mata oleh teman dan lawan
politiknya. Beliau bahkan dianggap sebagai pendatang baru dalam
kancah politik, yakni baru pada tahun 1987. Saat itu Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) menempatkannya sebagai salah seorang calon legislatif
dari daerah pemilihan Jawa Tengah, untuk mendongkrak suara.
Masuknya Megawati ke
kancah politik, berarti beliau telah mengingkari kesepakatan
keluarganya untuk tidak terjun ke dunia politik. Trauma politik
keluarga itu ditabraknya. Sejak menjadi mahasiswa, Mega sudah
berkecimpung di dunia politik melalui GMNI. Megawati tampil menjadi
primadona dalam kampanye PDI, walau tergolong tidak banyak bicara.
Ternyata memang berhasil. Tahun 1986, Mega menjadi wakil ketua PDI
Cabang Jakarta Pusat. Suara untuk PDI naik. Dan beliau pun terpilih
menjadi anggota DPR/MPR. Pada tahun itu pula, 1993, dia terpilih
menjadi Ketua Umum PDI.
Tetapi, kehadiran Mega di
gedung DPR/MPR sepertinya tidak terasa. Tampaknya, Megawati tahu
bahwa beliau masih di bawah tekanan. Selain memang sifatnya pendiam,
belaiu pun memilih untuk tidak menonjol mengingat kondisi politik
saat itu. Maka belaiu memilih lebih banyak melakukan lobi-lobi
politik di luar gedung wakil rakyat tersebut. Lobi politiknya, yang
silent operation, itu secara langsung atau tidak langsung, telah
memunculkan terbitnya bintang Mega dalam dunia politik. Pada tahun
1993 dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Hal ini sangat
mengagetkan pemerintah pada saat itu.
Proses naiknya Mega ini
merupakan cerita menarik pula. Ketika itu, Konggres PDI di Medan
berakhir tanpa menghasilkan keputusan apa-apa. Pemerintah mendukung
Budi Hardjono menggantikan Soerjadi. Lantas, dilanjutkan dengan
menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di Surabaya. Pada kongres ini,
nama Mega muncul dan secara telak mengungguli Budi Hardjono, kandidat
yang didukung oleh pemerintah itu. Mega terpilih sebagai Ketua Umum
PDI. Kemudian status Mega sebagai Ketua Umum PDI dikuatkan lagi oleh
Musyawarah Nasional PDI di Jakarta.
Namun pemerintah menolak
dan menganggapnya tidak sah. Karena itu, dalam perjalanan berikutnya,
pemerintah mendukung kekuatan mendongkel Mega sebagai Ketua Umum PDI.
Fatimah Ahmad cs, atas dukungan pemerintah, menyelenggarakan Kongres
PDI di Medan pada tahun 1996, untuk menaikkan kembali Soerjadi.
Tetapi Mega tidak mudah ditaklukkan. Karena Mega dengan tegas
menyatakan tidak mengakui Kongres Medan. Mega teguh menyatakan
dirinya sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor DPP PDI di Jalan
Diponegoro,
sebagai simbol keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh pihak Mega.
Para pendukung Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap
berusaha mempertahankan kantor itu.
Soerjadi yang didukung
pemerintah pun memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP
PDI itu. Ancaman itu kemudian menjadi kenyataan. Pagi, tanggal 27
Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari
pendukung Mega. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah Mega. Malah,
dia makin memantap langkah mengibarkan perlawanan. Tekanan politik
yang amat telanjang terhadap Mega itu, menundang empati dan simpati
dari masyarakat luas.
Penyerangan tersebut
dibawa ke meja hijau oleh Mega meskipun kemudian usaha itu kandas di
pengadilan. Akhirnya PDI terbelah menjadi dua, yakni, PDI pimpinan
Megawati dan PDI pimpinan Soerjadi. Massa PDI lebih berpihak dan
mengakui Mega. Tetapi, pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua
Umum PDI yang sah. Akibatnya, PDI pimpinan Mega tidak bisa ikut
Pemilu 1997. Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah nama
menjadi PDI Perjuangan. Partai politik berlambang banteng gemuk dan
bermulut putih itu berhasil memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih
lebih tiga puluh persen suara. Kemenangan PDIP itu menempatkan Mega
pada posisi paling patut menjadi presiden dibanding kader partai
lainnya. Tetapi ternyata pada SU-MPR 1999, Mega kalah.
Tetapi, posisi kedua
tersebut rupanya sebuah tahapan untuk kemudian pada waktunya
memantapkan Mega pada posisi sebagai orang nomor satu di negeri ini.
Sebab kurang dari dua tahun, tepatnya tanggal 23 Juli 2001 anggota
MPR secara aklamasi menempatkan Megawati duduk sebagai Presiden RI
ke-5 menggantikan KH
Abdurrahman Wahid. Dua tahun kemudian, 23 Juli 2001, mandat
MPR RI yang memutuskan Gus
Dur sebagai presiden dicabut. Akhirnya Mega yang menggantikannya.
Megawati menjadi presiden hingga 20 Oktober 2003. Setelah habis masa
jabatannya, Megawati kembali mencalonkan diri sebagai presiden dalam
pemilihan presiden langsung tahun 2004. Namun, beliau gagal untuk
kembali menjadi presiden setelah kalah dari Susilo
Bambang Yudhoyono, mantan Menteri Koordinator pada masa
pemerintahan Mega, yang akhirnya menjadi Presiden RI ke-6.
0 komentar:
Posting Komentar