This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 11 Januari 2014

Sejarah Dayeuhluhur

CERITA DAYEUHLUHUR
Tahun 1475 Kerajaan Daya Luhur ( Dayeuh Luhur ) didirikan oleh Prabu Gagak Ngampar, putra mahkota kerajaan sunda ( Galuh Purba ) dibawah kekuasaan Raja Sri Prabu Niskala Wastu Kencana yang bertahta selama 104 tahun, Kerajaan Daya Luhur merupakan wilayah pemekaran Kerajaan Pasir Luhur. Prabu Gagak Ngampar memiliki putra mahkota kembar, yaitu Ki Hadeg ciluhur dan Ki Hadeg Cisagu, keduanya memiliki hak atas tahta kerajaan yang sama,demi keadilan Prabu Gagak Ngampar membagi wilayah Kerajaan Daya Luhur menjadi 3 ( tiga ),
Daya Luhur dengan pusat pemerintahan Istana Salang Kuning di Dayeuhluhur, Kadipaten Majenang dipimpin Adipati Ki Hadeg Ciluhur berpusat di Istana Candi Kuning Gunung Padang Salebu Majenang, Kadipaten Penyarang dipimpin oleh Adipati Ki Hadeg Cisagu dengan istana Candi Laras di Desa Kunci Sidareja.
Demi kelangsungan Trah Kerajaan Daya Luhur, Putra Ki Hadeg Ciluhur dikawinkan dengan Putri Ki Hadeg Cisagu, Lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Arsagati. Arsagati menggantikan kakeknya menjadi raja Daya Luhur kedua, Arsagati menurunkan Raksagati menjadi raja ketiga, dan raja keempat adalah putra Raksagati, bernama Harsapraja atau Reksapraja. Masa transisi dari kerajaan ke status Kadipaten dayeuhluhur, atas kekalahan perang melawan Kerajaan Mataram dan tunduk dibawah kedaulatan Mataram, pimpinan kelima Daya Luhur berstatus sebagai Adipati ( Bupati ) bernama Wirapraja anak dari isteri selir Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Kartasura Hadiningrat, Adipati keenam Wiradika I putra kedua Wirapraja, Adipati ketujuh Wiradika II, menurunkan sebelas anak, anak keenam bernama Wiradika III terlahir dari isteri keturunan Keraton Kartasura ( Putri Tumenggung Wiraguna ), ketika dilantik menjadu Adipati Daya Luhur ke Delapan Wiradika III bergelar Raden Tumenggung Prawiranegara, merupakan Bupati terakhir Kadipaten Dayeuhluhur ( 1831 ) dan wilayahnya digabungkan dengan Kadipaten Banyumas oleh pemerintahan Kolonial Belanda, Pasca Perang Dipanegara ( 1825-1830 ).
Ketika Kerajaan Pajang runtuh digantikan oleh Kerajaan Mataram ( 1587-1755 ) didirikan oleh Panembahan Senapati. Pada tahun 1595 Kerajaan Mataram mengadakan ekspansi ( perluasan wilayah ),menaklukan Kerajaan Adireja di Adipala, menggempur Kerajaan Galuh di Priangan Timur, dan menundukkan Kerajaan Daya Luhur ( Dayeuhluhur ) yang dipimpin oleh raja Prabu Gagak Ngampar yang berpusat di Istana Salang Kuning dan memiliki wilayah dua Kadipaten, yaitu Kadipaten Majenang yang berpusat di Istana Candi Kuning, di Gunung Padang Desa Salebu Majenang, dengan Adipati ( Bupati ) Ki Hadeg Ciluhur, serta Kadipaten Penyarang dengan Istana Candi Laras di Desa Kunci Sidareja dibawah Kekuasaan Adipati Ki Hadeg Cisagu.
Ki Hadeg Ciluhur dan Ki Hadeg Cisagu adalah putra mahkota kembar Prabu Gagak Ngampar pendiri Kerajaan Daya Luhur ( 1475-1831 ) yang diberi tanah perdikan untuk dijadikan pusat pemerintahan dengan status Kadipaten. Istana Candi Kuning dan Istana Candi Laras oleh Kerajaan Mataram dibawah kekuasaan Panembahan Senapati dibumi hanguskan,Istana Candi Kuning yang memiliki Pilar Batu sepanjang 33,3 meter ( 33,3=9 ) diruntuhkan, dan dibongkar, rumah penduduk dibakar menjadi karang abang, selama berminggu-minggu langit majenang menjadi abu-abu, lantaran banyaknya lebu-lebu ( debu ) beterbangan diangkasa, untuk mengenang peristiwa tersebut, warga yang selamat memberi tetenger untuk nama desa yaitu Desa Salebu Kecamatan Majenang,reruntuhan Istana Candi Kuning, berupa Batu berbagai bentuk dan ukuran mulai dari 45 X 45 Cm, hingga segi delapan, dan Pilar bekas penyangga Istana Candi Kuning kini menjadi “Kunci” saksi sejarah berupa BCB ( Benda Cagar Budaya ), yang jumlahnya mencapai ratusan ribu batu disatu tempat, terkuaknya “Misteri Istana Candi Kuning di Gunung Padang Majenang” yang selama ini oleh anak cucu keturunan Trah Kerajaan ( Kadipaten ) Daya Luhur ditutup-tutupi dan pamali atau tabu untuk disiarkan, dan diketahui oleh keturunannya, menyiratkan rekaman peristiwa sejarah atas kekalahan mempertahankan kedigdayaan Kerajaan Daya Luhur dari gempuran “Penjajah!” yakni Kerajaan Mataram dibawah kekuasaan Panembahan Senapati. Sang leluhur tatar Cilacap ini, merasa bersalah dan tidak mampu mempertahankan kejayaan Kerajaan ( Kadipaten ) Daya Luhur, sebagai pemerintahan pribumi pertama yang ada, kekalahan dan penderitaan leluhur kita melalui para juru kunci ( Kuncen ) yang rata-rata sudah mencapai 7 ( Tujuh ) turunan, telah dengan sengaja menutup pintu informasi, supaya anak cucu cicitnya tidak menyimpan dendam kesumat, sehingga di Tatar Cilacap tercipta kondisi keamanan yang kondusif.
Sedikitnya ada 7 ( tujuh ) Buku Kuna dalam bentuk gancaran, juga berita tentang keberadaan Kerajaan Daya Luhur ( Dayeuhluhur ), seperti yang tertulis dalam buku Babad Padjajaran Doemagi Padjang Koleksi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dalam buku tersebut Kerajaan Daya Luhur, ditulis Kerajaan Dailur.
Asal-usul Prabu Gagak Ngampar pendiri Kerajaan Daya Luhur ( Dayeuhluhur ), Sri Prabu Niskala Wastu Kencana adalah raja besar yang bertahta selama 104 tahun di Kerajaan Sunda ( Galuh Purba ), memiliki putra mahkota bernama Banyak Catra atau Banyak Sasra dalam pengembaraannya ke wilayah timur menuju kerajaan Pasir Luhur yang berpusat di Istana Taman Sari pinggir sungai Logawa, Karang Lewas Purwokerto, Banyak Catra memakai nama samaran Raden Kamandaka. Banyak Catra memiliki adik kandung bernama Gagak Ngampar atau Banyak Ngampar juga memiliki nama samaran Silih warni, Banyak Catra dan Gagak Ngampar memiliki adik tiri dari selir sang raja, bernama Banyak Blabur.
Banyak Catra alias Raden Kamandaka diangkat sebagai menantu sekaligus menggantikan kedudukan sang mertua, Sri Baginda Maha Prabu Kendadaha, Raja kedelapan Kerajaan Pasir Luhur, atas jasa-jasanya terhadap Kerajaan Pasir Luhur dalam peperangan melawan Kerajaan Maritim Nusakambangan dibawah kebesaran Raja Pule Bahas, yang ditikam dengan Tjis ( Keris Kecil ) oleh Lutung Kasarung yang tidak lain adalah Raden Kamandaka, dalam perang antara Kerajaan Pasir Luhur dengan Kerajaan Nusakambangan, peran Gagak Ngampar sangat menentukan kemenangn karena Gagak Ngampar membantu kakaknya Raden Kamandaka, dengan membawa satu peleton Pasukan bersenjata lengkap yang menjadi ujung tombak kekuatan. Atas kemenangan ini Raden Kamandaka dijadikan menantu dengan mempersunting Ciptarasa, dan menggantikan Tahta sang mertua menjadi Raja Pasir Luhur, sedangkan Gagak Ngampar diberi kekuasaan untuk mendirikan Kerajaan Daya Luhur  ( 1475 ), Kerajaan Daya Luhur adalah pemekaran dari Kerajaan Pasir Luhur, dan wajib mengirimkan upeti setiap tahun kepada Kerajaan Induk Pasir Luhur. 
Saat Raja besar Sunda Sri Prabu Niskala Wastu Kencana berniat lengser keprabon,dipanggilah ketiga puteranya yaitu, Banyak Catra ( Raden Kamandaka ), Gagak Ngampar ( Silih Warni ), dan Banyak Blabur yang terlahir dari isteri selir. Ketiganya menghadap sang raja lengkap dengan persyaratan, Banyak Catra diiringi 40 Orang Putri dari Kerajaan Pasir Luhur, Gagak Ngampar diiringi 40 Orang putri dari Kerajaan Daya Luhur, dan Banyak Blabur disertai 40 putri dari Banten. Ketiganya lolos seleksi persyaratan juga tes kedigdayaan ilmu kanuragan,giliran persyaratan akhir untuk menentukan siapa yang akan menggantikan kedudukan Tahta Raja Sunda, menghadaplah ibunda Banyak Blabur menuntut janji kepada sang raja Sri Prabu Niskala Wastu Kencana, atas jajninya jika ia kelak melahirkan seorang anak laki-laki, akan dijadikan raja menggantikan kedudukan ayahandanya. Hasil sidang para Pengageng Kerajaan Sunda dengan raja mensyaratkan yang dapat menggantikan tahta, adalah anak yang phisiknya utuh, tanpa cacat sedikitpun, yang pertama dites adalah Gagak Ngampar melalui wawancara panjang dan diagnosa phisik terdapat cacat menahun pada kepala sebelah kiri, karena pernah retak saat perang melawan Pule Bahas, Raja Nusakambangan.Giliran Kedua Banyak Catra dalam wawancara lulus gemilang, ketika dites phisik terdapat luka gores memanjang di lambung kanan perut akibat tusukan Patrem ( Keris Kecil tanpa luk), oleh adiknya Gagak Ngambar alias Silih Warni saat bertanding menentukan kebenaran bahwa Banyak Catra alias Raden Kamandaka adalah prajurit dari kerajaan Sunda, peristiwa itu terjadi diatas Watu Sinom ( Batu Muda ) sebesar rumah Kecamatan Kedung Banteng Kabupaten Banyumas. Karena Banyak catra maupun Gagak Ngampar pad badannya terdapat luka, maka pilihan terakhir yaitu Banyak Blabur yang kedapatan secara phisik mulus, maka lulus menggantikan kedudukan ayahanda menjadi Raja Kerajaan Sunda  ( Galuh Purba ), ketika “Naik Tahta” Banyak Blabur bergelar Prabu Siliwangi, dan memindahkan pusat Kerajaan Sunda kedaerah Pakwan Pajajaran ( Bogor sekarang ), dan dikemudian tahun Kerajaan Sunda lebih popular disebut sebagai Kerajaan Padjajaran dengan raja besar Prabu Siliwangi. 

Jumat, 10 Januari 2014

Sejarah Banyumas



Kabupaten Banyumas berdiri pada tahun 1582, tepatnya pada hari Jum’at Kliwon tanggal 6 April 1582 Masehi, atau bertepatan tanggal 12 Robiul Awwal 990 Hijriyah. Kemudian ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Daerah Tingkat II Banyumas Nomor 2 tahun 1990.
Keberadaan sejarah Kabupaten Banyumas tidak terlepas dari pendirinya yaitu Raden Joko Kahiman yang kemudian menjadi Bupati yang pertama dikenal dengan julukan atau gelar ADIPATI MARAPAT (ADIPATI MRAPAT).
Riwayat singkatnya diawali dari jaman Pemerintahan Kesultanan PAJANG, di bawah Raja Sultan Hadiwijaya.
Kisah pada saat itu telah terjadi suatu peristiwa yang menimpa diri (kematian) Adipati Wirasaba ke VI (Warga Utama ke I) dikarenakan kesalah pahaman dari Kanjeng Sultan pada waktu itu, sehingga terjadi musibah pembunuhan di Desa Bener, Kecamatan Lowano, Kabupaten Purworejo (sekarang) sewaktu Adipati Wirasaba dalam perjalanan pulang dari pisowanan ke Pajang. Dari peristiwa tersebut untuk menebus kesalahannya maka Sultan Pajang, memanggil putra Adipati Wirasaba namun tiada yang berani menghadap.
Kemudian salah satu diantaranya putra menantu yang memberanikan diri menghadap dengan catatan apabila nanti mendapatkan murka akan dihadapi sendiri, dan apabila mendapatkan anugerah/kemurahan putra-putra yang lain tidak boleh iri hati. Dan ternyata diberi anugerah diwisuda menjadi Adipati Wirasaba ke VII. Semenjak itulah putra menantu yaitu R. Joko Kahiman menjadi Adipati dengan gelar ADIPATI WARGA UTAMA II.
Kemudian sekembalinya dari Kasultanan Pajang atas kebesaran hatinya dengan seijin Kanjeng Sultan, bumi Kadipaten Wirasaba dibagi menjadi empat bagian diberikan kepada iparnya.
  1. Wilayah Banjar Pertambakan diberikan kepada Kyai Ngabei Wirayuda.
  2. Wilayah Merden diberikan kepada Kyai Ngabei Wirakusuma.
  3. Wilayah Wirasaba diberikan kepada Kyai Ngabei Wargawijaya.
  4. Wilayah Kejawar dikuasai sendiri dan kemudian dibangun dengan membuka hutan Mangli dibangun pusat pemerintahan dan diberi nama Kabupaten Banyumas.
Karena kebijaksanaannya membagi wilayah Kadipaten menjadi empat untuk para iparnya maka dijuluki Adipati Marapat.
Siapakah Raden Joko Kahiman itu ?
R. Joko Kahiman adalah putra R. Banyaksasro dengan ibu dari Pasir Luhur. R. Banyaksosro adalah putra R. Baribin seorang pangeran Majapahit yang karena suatu kesalahan maka menghindar ke Pajajaran yang akhirnya dijodohkan dengan Dyah Ayu Ratu Pamekas putri Raja Pajajaran. Sedangkan Nyi Banyaksosro ibu R. Joko Kahiman adalah putri Adipati Banyak Galeh (Mangkubumi II) dari Pasir Luhur semenjak kecil R. Joko Kahiman diasuh oleh Kyai Sambarta dengan Nyai Ngaisah yaitu putri R. Baribin yang bungsu.
Dari sejarah terungkap bahwa R. Joko Kahiman adalah merupakan SATRIA yang sangat luhur untuk bisa diteladani oleh segenap warga Kabupaten Banyumas khususnya karena mencerminkan :
  1. Sifat altruistis yaitu tidak mementingkan dirinya sendiri.
  2. Merupakan pejuang pembangunan yang tangguh, tanggap dan tanggon.
  3. Pembangkit jiwa persatuan kesatuan (Majapahit, Galuh Pakuan, Pajajaran) menjadi satu darah dan memberikan kesejahteraan ke kepada semua saudaranya.
Dengan demikian tidak salah apabila MOTO DAN ETOS KERJA Untuk Kabupaten Banyumas SATRIA.
Candra atau surya sengkala untuk hari jadi Kabupaten Banyumas adalah “BEKTINING MANGGALA TUMATANING PRAJA” artinya tahun 1582. Bila diartikan dengan kalimat adalah “KEBAKTIAN DALAM UJUD KERJA SESEORANG PIMPINAN / MANGGALA MENGHASILKAN AKAN TERTATANYA ATAU TERBANGUNNYA SUATU PEMERINTAHAN”.
PARA ADIPATI DAN BUPATI SEMENJAK BERDIRINYA KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 1582
  1. R. Joko Kahiman, Adipati Warga Utama II
  2. R. Ngabei Mertasura (1560)
  3. R. Ngabei Mertasura II (Ngabei Kalidethuk) (1561 -1620)
  4. R. Ngabei Mertayuda I (Ngabei Bawang) (1620 – 1650)
  5. R. Tumenggung Mertayuda II (R.T. Seda Masjid, R.T. Yudanegara I) Tahun 1650 – 1705
  6. R. Tumenggung Suradipura (1705 -1707)
  7. R. Tumenggung Yudanegara II (R.T. Seda Pendapa) Tahun 1707 -1743.
  8. R. Tumenggung Reksapraja (1742 -1749)
  9. R. Tumenggung Yudanegara III (1755) kemudian diangkat menjadi Patih Sultan Yogyakarta bergelar Danureja I.
  10. R. Tumenggung Yudanegara IV (1745 – 1780)
  11. R.T. Tejakusuma, Tumenggung Kemong (1780 -1788)
  12. R. Tumenggung Yudanegara V (1788 – 1816)
  13. Kasepuhan : R. Adipati Cokronegara (1816 -1830), Kanoman : R. Adipati Brotodiningrat (R.T. Martadireja)
  14. R.T. Martadireja II (1830 -1832) kemudian pindah ke Purwokerto (Ajibarang).
  15. R. Adipati Cokronegara I (1832- 1864)
  16. R. Adipati Cokronegara II (1864 -1879)
  17. Kanjeng Pangeran Arya Martadireja II (1879 -1913)
  18. KPAA Gandasubrata (1913 – 1933)
  19. RAA. Sujiman Gandasubrata (1933 – 1950)
  20. R. Moh. Kabul Purwodireja (1950 – 1953)
  21. R. Budiman (1953 -1957)
  22. M. Mirun Prawiradireja (30 – 01 – 1957 / 15 – 12 – 1957)
  23. R. Bayi Nuntoro (15 – 12 – 1957 / 1960)
  24. R. Subagio (1960 -1966)
  25. Letkol Inf. Sukarno Agung (1966 -1971)
  26. Kol. Inf. Poedjadi Jaringbandayuda (1971 -1978)
  27. Kol. Inf. R.G. Rujito (1978 -1988)
  28. Kol. Inf. H. Djoko Sudantoko (1988 – 1998)
  29. Kol. Art. HM Aris Setiono, SH, S.IP (1998 – 2008)
  30. Drs. H. Mardjoko, M.M. (2008 – 2013)

Foto